Masjid berbentuk kubah telah berkembang pesat di seluruh dunia Islam dan menjadi simbol identitas dan struktur Islam. Pada titik tertentu, kubah tetap merupakan representasi Islam atau rumah ibadah umat Islam. Sebagai contoh, Masjid Qubbat as-Sakhrah, juga dikenal sebagai “Dome of Rock” di kompleks Masjid Al-Aqsa, adalah salah satu karya arsitektur Islam pertama yang menggunakan kubah. Ini menjadi saksi bisu peristiwa penting dan bersejarah Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW.
Sejarah Kubah Masjid
Setelah Masjid Qubbat as-Sakhrah didirikan, para arsitek Muslim mulai mencoba mengembangkan gaya arsitektur yang menyerupai kubah untuk masjid lainnya. Kubah bahkan menjadi semacam simbol arsitektur Muslim di Kairo, Mesir, pada abad ke-12. Kubus melebur setelah beberapa tahap evolusi zaman.
Sekitar abad ke-19 hingga 20 Masehi, kubah masjid mulai digunakan di Indonesia. Orang-orang di seluruh Indonesia terus menganggap bentuk kubah itu identik dengan masjid. Masjid Agung Damaskus, juga dikenal sebagai Masjid Umayah Karya Al-Walid, adalah masjid berkubah pertama yang dibangun pada abad ke-7 Masehi. Strukturnya yang menakjubkan dapat bertahan selama lebih dari seribu tahun.
Masjid inilah yang memulai era arsitektur Islam dengan lengkungan (horseshoearch), menara segi empat, dan maksurah atau mihrab. Selanjutnya adalah Masjid Biru Turki (1600 M), yang terletak di dekat tepian laut Marmara, yang merupakan ibu kota Kesultanan Utsmaniyah.
Dalam perkembangan arsitektur masjid, struktur atap kubah ini menjadi dominan di dunia mulai abad 12 dan terus mendominasi sampai abad 19. Banyak lagi masjid di seluruh dunia terkenal dengan atap kubah yang monumenta. Pada akhir abad ke-17, masjid-masjid di Indonesia mulai menggunakan atap berkubah. Beberapa contohnya adalah Masjid Baiturahman di Banda Aceh, yang dibangun pada tahun 1870 Masehi. Kemudian datang Masjid Istiqlal Jakarta, yang dibangun pada tahun 1951, Masjid Nasional Surabaya, yang dibangun pada tahun 1995, dan Masjid Kubah Emas di Depok, Jawa Barat, yang dibangun pada tahun 2021.
Sampai abad ke-21, atap masjid berkubah ini masih digunakan. Meskipun masjid tradisional Indonesia tidak memiliki atap kubah, bentuk geometrinya erat terkait dengan sejarah perkembangan dan akulturasi budaya. Sebuah contohnya adalah Masjid Agung Demak, yang dibangun pada abad ke-15. Masjid Agung Yogyakarta dan Masjid Gedhe Kauman masing-masing memiliki atap bertingkat (tumpeng) dengan denah persegi yang mengecil atau mengerucut semakin ke atas. Atap limas mereka ditopang delapan tiang yang dikenal sebagai Saka Majapahit.
Masjid terbesar dan termegah di Kota Padang adalah Masjid Raya Sumatera Barat. Masjid Raya Sumatera Barat dibangun oleh Rizal Muslimin di atas lahan seluas 40 ribu meter persegi dan memiliki luas 18 ribu meter persegi. Ia adalah pemenang sayembara arsitektur di mana 323 arsitek dari berbagai negara berpartisipasi. Menurut sang arsitek, tiga simbol terinspirasi dari bentuk bangunan Masjid Raya Sumatera Barat: sumber mata air (springs: elemen alam), bulan sabit, dan Rumah Gadang yang menggambarkan integrasi antara sejarah Islam, konteks Minangkabau, dan adat istiadat.
Adat Minangkabau memperkuat ajaran Islam seperti rumah yang kokoh karena sandinya dengan filosofi “Alam takambang jadi guru”, yang secara fundamental didasarkan pada tradisi, agama, dan Al-Qur’an.
Inspirasi Kubah Masjid Raya Sumatera Barat
1. Konsep Bentangan Kain untuk meletakan batu Hajar Aswad
Masjid Raya Sumatera Barat dikatakan terinspirasi dengan konsep bentangan kain untuk meletakkan batu Hajar Aswad. Beberapa tahun sebelum Muhammad diangkat menjadi nabi, Ka’bah diterjang banjir bandang hingga menyebabkan dindingnya retak/roboh. Air bah itu berasal dari gunung-gunung yang ada di sekitar Ka’bah. Maklum, pada saat itu Ka’bah yang tingginya sembilan hasta atau tujuh meter, tidak beratap dan pintunya sejajar dengan tanah. Kondisi Ka’bah yang seperti itu juga memudahkan para pencuri untuk mengambil harta-harta persembahan yang ditaruh di dasar Ka’bah. Riwayat lain dari Ibnu Hisyam menyebutkan bahwa ada faktor lain yang membuat Kaum Quraisy akhirnya memugar Ka’bah, yaitu hilangnya ular di bawah Ka’bah.
Selama proses pembangunan sampai ke posisi Hajar Aswad, yang berada pada ketinggian 110 meter, terjadi perselisihan yang hampir menyebabkan darah mengalir di antara orang Quraisy tentang siapa yang berhak meletakkan batu hitam tersebut. Masing-masing dari mereka merasa berhak atas apa yang mereka miliki. Dilaporkan bahwa perselisihan itu berlangsung selama empat atau lima hari sebelum mereka akhirnya mencapai persetujuan.
Abu Umayyah bin al-Mughirah al-Makhzumi, salah satu sesepuh Quraisy, menyarankan untuk menetapkan orang sebagai pemutus masalah tersebut. Suku Quraisy setuju bahwa orang pertama yang melewati pintu Ka’bah besok paginya akan memutuskan siapa yang berhak meletakkan Hajar Aswad. Selain itu, Nabi Muhammad adalah orang pertama yang memasuki pintu Ka’bah. Karena kejujuran dan kredibilitas Muhammad, orang Quraisy menerimanya sebagai hakim.
Kisah sirah nabawiyyah inilah konsep desain yang diambil oleh Arsitek Rizal Muslim dalam perencaan dan perancangan Masjid Raya Sumatera Barat. Defleksi/lendutan pada elemen kain ketika mengalami suatu pembebanan.
2. Konsep Sumber Mata Air
Mata air, atau air hujan, adalah sumber air bersih yang biasa digunakan oleh masyarakat untuk berbagai kebutuhan hidup. Karena mengalami purifikasi secara alami, air yang berasal dari mata air biasanya dapat dikonsumsi. Menurut Tolman dalam bukunya “Groundwater”, air hujan adalah aliran air tanah yang keluar dari permukaan tanah. Dalam gagasan ini, mata air yang dimaksud adalah mata air zamzam yang terletak di Mekah, Arab Saudi. Selama ibadah Haji dan Umrah, orang Islam biasanya berkunjung ke sumur zamzam dan membawa air zamzam sebagai oleh-oleh pulang. Sumur zamzam berada sejauh sebelas meter dari Ka’bah.
Zamzam, yang berarti “berkumpullah” dalam bahasa Arab, adalah air yang “melimpah ruah”. Kondisi air zamzam, yang telah digunakan selama ribuan tahun, tidak pernah kering. Air zamzam telah ada sejak zaman Nabi Ismail, yang menangis karena kehausan di padang pasir bersama ibunya, Siti Hajar. Dokumen sejarah menunjukkan bahwa air zamzam telah ada selama lebih dari 4.000 tahun, atau sekitar tahun 1910 SM.
3. Konsep Bulan Sabit
Tak hanya itu, asal mula atap Masjid Raya Sumatera Barat juga terinspirasi dari bulan sabit. Mengapa demikian? Untuk waktu yang lama, bulan sabit telah dianggap sebagai representasi dari segala sesuatu yang bernuansa islami. Ini adalah simbol yang digunakan dalam berbagai konteks, mulai dari kubah masjid, gerakan kepalangmerahan, lambang partai politik, hingga lambang berbagai negara. Bentuk bulan sabit sebenarnya berbeda-beda tergantung pada posisinya di muka Bumi. Posisi bulan sabit seperti huruf C telentang di sekitar khatulistiwa.
Di abad ke-7 Masehi, Abdul Malik bin Marwan meletakkan bulan sabit sebagai simbol Islam pada kubah Masjid Al Aqsa. Kubah ini, yang disebut Kubah As Sakhra, adalah kubah batu, bukan yang ada di Masjid Al Aqsa saat ini. Selama perang salib pada abad ke-12, simbol ini juga digunakan sebagai lambang pasukan Islam yang dipimpin oleh Shalahuddin Al Ayyubi. Simbol ini pertama kali digunakan di Turki oleh Usmaniyah atau Ottoman pada abad ke-18, dan sekarang digunakan lagi. Simbol bulan sabit menjadi identitas kultural Islam sejak saat itu. Banyak negara yang beragama Islam, seperti Singapura, Malaysia, Brunei, Turki, Pakistan, Aljazair, Tunisia, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Azerbaijan, menggunakannya sebagai lambang.
Penggunaan bulan sabit sebagai penanda masjid di Indonesia, berlangsung setelah kemerdekaan dan makin masif sesudah reformasi. Hal ini seiring maraknya penggunaan kubah sebagai atap masjid.
4. Konsep Rumah Adat Minangkabau ‘Bagonjong’
Dilihat dari bentuknya Masjid Raya Sumatera Barat memiliki kesamaan bentuk dengan bangunan rumah adat Minangkabau atau bagonjong. Dengan atap lengkung yang meruncing di semua ujungnya seperti tanduk kerbau. Bentuk baru yang dihadirkan pada atap bangunan arsitektur masjid ini merupakan inovasi dari adanya perkembangan zaman yang kuat akan teknologi dan pikiran masyarakat yang lebih terbuka, namun dengan tidak mengabaikan hakekat dari kekuatan budaya lingkungan setempat. Hal ini menunjukkan suatu perbedaan dapat menjadi satu dengan adanya kompromi. Hal ini juga sesuai dengan semboyan orang Minang yang sering digunakan ketika rapat yaitu “musyawarah dan mufakat.
Terdapat bentuk ukiran-ukiran pada dinding atap (fasade) Masjid Raya Sumatera Barat yang mengambil bentuk dari ukiran pada Rumah Gadang. Ukiran yang terdapat pada bangunan masjid ini mengandung berbagai pesan moral, salah satu contoh ukiran “kaluak paku” atau lekuk pakis yang bermakna bahwa yang tua wajib melindungi dan membimbing yang muda, layaknya bunga pakis dimana pucuk yang muda selalu berada didalam lekukan batang yang lebih tua. Atau motif “itik Pulang Petang” memiliki enam makna filosofis yang terlihat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau yang masih ada dan dipertahankan sampai sekarang.