Jakarta, Di lansir dari iLeadersTV Pimpinan dan para komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus dihukum apabila mereka membangkang terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang memerintahkan KPU untuk memasukkan nama Irman Gusman dalam Daftar Calon Tetap (DCT) Pemilu.
Demikian pendapat guru besar hukum tata negara Universitas Kristen Indonesia (UKI), Prof. Dr. John Pieris, SH, MH, MS, ketika berbicara pada Seminar Nasional bertajuk Putusan Pengadilan versus Peraturan Perundang-Undangan, yang diselenggarakan di Jakarta pada Senin (8/1/2024).
Dalam seminar yang diselenggarakan oleh Perkumpulan IKA MIH UKI dan Pusat Bantuan Hukum FH UKI itu, Prof. John Pieris menegaskan bahwa pembangkangan yang dilakukan KPU terhadap putusan PTUN dimksud merupakan “tindakan tidak terpuji yang dilakukan KPU tanpa menghargai asas negara hukum.”
Pakar hukum tata negara itu juga menyebutkan bahwa penolakan KPU terhadap putusan PTUN merupakan “perbuatan yang melanggar konstitusi dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Ia menilai KPU telah melanggar hukum karena, menurut pendapatnya, Irman Gusman telah memenuhi semua persyaratan dan aturan perundang-undangan sehingga nama Irman telah dimasukkan dalam Daftar Calon Sementra (DCS) sebelum KPU memberlakukan kebijakan baru yang membuat nama Irman tidak dimasukkan dalam DCT.
“Keadilan sosial dalam bidang politik telah dicampakkan dalam kasus Irman Gusman. Equality before the law serta hak asasi Irman Gusman telah dicabik-cabik. Itu tidak benar,” ujarnya.
“Tidak benar sebuah lembaga negara yang independen, yang kerjanya hanya menyelenggarakan Pemilu, tidak menghormati konstitusi, tidak menghormati undang-undang, dan tidak menghormati putusan PTUN,” tegas John Pieris.
“Karena yang dilakukan KPU itu perbuatan melawan hukum oleh pemerintah. Saya kategorikan KPU sebagai pemerintah, karena dia alat dari pemerintah. Kalau pemerintah melakukan perbuatan melawan hukum, maka kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum diragukan akan terwujud.”
Ia menambahkan, “Kalau konstitusi ditabrak, undang-undang Pemilu ditabrak, itu kasihan sekali. KPU harus meyakini bahwa the judge makes law. Hakim itu membentuk hukum.”
“Yang dibuat dalam putuan PTUN itu sudah final and binding. PTUN itu sebuah lembaga yang masuk dalam kekuasaan kehakiman, dan itu lebih tinggi kedudukannya dari pada KPU,” tegasnya.
John Pieries yang pernah menjadi anggota DPD RI mewakili Provinsi Maluku itu juga meminta KPU untuk “segera memulihkan nama baik Iman Gusman dan harus membatalkan keputusannya sendiri” sebab pembatalan keputusan KPU tentang Irman Gusman itu pun termasuk perintah konstitusi, karena diperintahkan oleh PTUN.
Dalam putusan perkara nomor 600/G/SPPU/2023/PTUN.JKT tertanggal 19/12/2023, PTUN Jakarta menyatakan batal/tidak sah Keputusan KPU RI Nomor 1563 Tahun 2023 tentang Daftar Calon Tetap Anggota DPD dalam Pemilu 2024 yang di dalamnya tidak terdapat nama Irman Gusman.
PTUN Jakarta memerintahkan KPU menerbitkan keputusan baru yang isinya menetapkan Irman Gusman sebagai calon tetap DPD RI pada daerah pemilihan Sumatera Barat untuk Pemilu 2024.
John Pieris juga menegaskan bahwa pendapat KPU tentang kasus pidana Irman Gusman tidak tepat, karena ancaman hukuman dalam putusan peninjauan kembali yang sudah berkekuatan hukum tetap adalah kurang dari lima tahun, bukan di atas lima tahun sebagaimana diyakini KPU.
“Irman sudah menjalankan semua itu dan oleh kaarenanya maka hak politiknya harus dipulihkan. Jika tidak, maka justru orang-orang KPU itu, pimpinannya itu yang harus dihukum kalau melanggar hukum,” tegas Prof. John Pieris.
Ia menilai bahwa sekarang ini “agak sulit mengharapkan pusat-pusat kekuasaan bisa menjadi pusat keteladanan, ketaatan, dan kepatuhan hukum.” Dan oleh karena itu ia mengkhawatirkan bahwa akan ada banyak warga negara lain yang mengalami nasib seperti Irman Gusman, apabila kondisi ini tidak segera dibenahi.
Seminar nasional yang dipandu oleh Dr. Diana Napitupulu, SH, MH, M.Kn., M.Sc. itu juga menghadirkan mantan hakim Mahkamah Agung Prof. Gayus Lumbuun, mantan hakim Mahkamah Konstitusi Dr. Maruarar Siahaan, dosen hukum administrasi negara FH Universitas Indonesia Dr. Dian Puji Simatupang, SH, MH, advokat dan ketua umum IKA MIH UKI Dr. Berry Sidabutar, SH, MH, MM, serta Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus. [*]