Pendidikan Agama Islam di Sumatera Barat merupakan salah satu pengaruh kuat dalam metode dakwah selama kerajaan Islam. Ini terbukti dengan kelahiran banyak ulama Minangkabau, seperti Syeikh Burhanuddin Ulakan, Tuanku Imam Bonjol, dan lainnya. Namun, pendidikan dan pengajaran Islam mulai mundur setelah kerajaan Islam runtuh dan kaum Padri dikalahkan oleh penjajah Belanda. Oleh karena itu, pendidikan dan dakwah masih dilakukan di surau-surau atau mushola.
Sebelum madrasah muncul di Minangkabau, surau adalah tempat penyebaran pendidikan yang ada. Istilah “surau” sendiri sebenarnya sudah ada sebelum kedatangan Islam ke Minangkabau. Dalam masyarakat adat Minangkabau, surau dimiliki oleh suku atau kaum sebagai tambahan rumah gadang yang berfungsi sebagai tempat berkumpul, berkumpul, dan tidur bagi anak laki-laki yang telah akil baligh. Karena fakta ini, surau menjadi tempat yang sangat penting untuk menumbuhkan generasi Minangkabau.
Pada awal abad ke-20, terjadi pergeseran sosial dan intelektual di Sumatera Barat. Ini dimulai dengan kembalinya tiga ulama Minangkabau, Inyik Djambek, Inyik Rasul, dan Inyik Abdullah Ahmad, yang membawa semangat modernisasi Islam dari ajaran Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani dari Mesir. Namun, tiga haji Miskin, Sumanik, dan Piambang yang datang dari Mekah pada tahun 1803 sebenarnya telah mendorong pembaharuan di Minangkabau sebelum abad ke-20. Nah, berikut ini adalah tokoh-tokoh penyebaran pendidikan di Sumatera Barat:
Tokoh Penyebaran Pendidikan di Sumatera Barat
1. Syaikh Ahmad Khatib
Pada awal abad ke-20, Syaikh Ahmad Khatib dari Mekkah menjadi tokoh penyebaran pendidikan di Sumatera Barat. Dia dilahirkan di Bukit Tinggi pada tahun 1855 dan berasal dari seorang hakim gerakan Padri yang sangat menentang penjajahan Belanda. Pada tahun 1871, dia meninggalkan rumahnya dan pergi ke Mekah bersama ayahnya. Ia tidak pernah kembali ke kampung halamannya, tetapi tulisannya dan peranannya sebagai guru para calon ulama terkenal pada abad ke-20 menjadikannya pelopor terus-menerus pembaharuan pemikiran Islam kontemporer untuk kemajuan Indonesia, terutama Minangkabau. Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860-1947), Haji Abdul Karim Amarullah (1879-1945), dan Haji Abdullah Ahmad (1878-1933) adalah beberapa dari murid-murid Syaikh Ahmad Khatib yang kemudian membantu memperbarui pemikiran Islam di Minangkabau.Â
2. Syaikh Abdullah Ahmad
Abdullah Ahmad adalah tokoh penyebaran pendidikan di Sumatera Barat. Dia adalah orang pertama yang mendirikan madrasah dan merupakan pioner. Ia lahir di Padang panjang pada tahun 1878 dan anak dari haji Ahmad, seorang ulama di daerah itu. Pendidikannya dimulai dengan belajar agama Islam dari ayahnya sendiri. Setelah baligh, dia dimasukkan ke sekolah kelas dua Padang Panjang, yang merupakan sekolah untuk kaum pribumi. Ia berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji pada usia 17 tahun (1895) dan juga belajar dari syaikh Ahmad Khatib dan ulama lain. Dia juga mengikuti perkembangan gerakan Wahabiyah selama di sana.Â
Karena kerja kerasnya dan ketekunannya dalam belajar agama di Makkah, ia diangkat sebagai asisten Syaikh Ahmad Khatib. Pada tahun 1899, ia kembali ke Minangkabau dan mulai mengajar di surau Jembatan Besi Padang Panjang, menggunakan metode halaqah saat ini. Sumatera Thawalib berasal dari surau ini. Ia menghapus kebiasaan dan kebiasaan, dan ia menjadi agen dari berbagai majalah untuk mendukung gagasan pembaharuan.Â
Abdullah Ahmad pindah ke Padang pada tahun 1906 untuk menggantikan pamannya yang baru meninggal sebagai guru surau. Di kota inilah ia mendirikan sekolah agama pertama di Indonesia, sekolah Adabiyah. Dalam hal aktivitas intelektual, ia telah sering berinteraksi dengan siswa sekolah dan gurunya, terutama Syaikh Ahmad Khatib dan temannya Syaikh Jalaluddin, yang merupakan pemimpin majalah al-Iqbal dan al-Imam di Singapura. Dia cukup terpengaruh oleh hubungannya dengan berbagai teori kontemporer ini. Selain aktif dalam bidang dakwah dan pendidikan, ia juga aktif menulis tentang agama dan pendidikan. Majalah yang berfokus pada pembaharuan Islam, al-Munir, adalah karya terkenalnya.
3. Zainuddin Labay el-Yunusi
Anak tertua dari pasangan Syaikh Muhammad Yunus al-Khalidiyah dan Rafi’ah, Zainuddin Labay yang lahir pada tahun 1890 M menjadi tokoh penyebaran pendidikan di Sumatera Barat. Ia dididik secara langsung oleh kedua orang tuanya melalui penerapan sistem nilai, pendidikan agama, dan pengalaman hidup. Di Hollands Inlandsche School (HIS), Zainudin Labay juga dididik dengan sistem pendidikan yang menekankan pelajaran umum seperti membaca dan menulis, pendidikan dasar, berhitung, dan pencatatan. Namun, hanya sampai kelas empat.Â
Setelah gagal menyelesaikan kuliah di HIS, Zainuddin pergi ke Padang untuk belajar kepada seorang ulama modern, Syaikh Abdullah Ahmad. Dia juga belajar kepada Syaikh Abbas Abdullah, seorang ulama modern yang dekat dengan Syaikh Abdul Karim Amrullah dan Syaikh Abdullah Ahmad. Selama dua tahun belajar di Padang Japang, bakat dan kemampuan Zainuddin semakin berkembang. Di lokasi tersebut, Syaikh Abbas Abdullah menunjuknya sebagai guru bantu. Zainuddin Labay kembali ke kampung halamannya tahun 1914 dan belajar di Surau Jembatan Besi dengan Dr. Abdul Karim Amrullah. Dia sangat pintar, jadi dia dipercaya untuk menjadi guru bantu di surau itu.
Semangat Zainuddin untuk melakukan penyebaran pendidikan Agama Islam di Sumatera Barat semakin meningkat. Ia berpartisipasi dalam membangun sistem pendidikan modern melalui Diniyah School, yang pada saat itu terlihat asing dan banyak dipandang negatif oleh masyarakat. Zainuddin keluar dari Islam karena dianggap sebagai ulama yang merusak agama. Meniru gaya hidup orang Belanda masih dianggap kafir di masyarakat.Â
Zainuddin menerimanya dengan tulus. Langkah ini semata-mata bertujuan untuk membuktikan bahwa ulama dan golongan agama adalah individu yang layak untuk kemajuan. Dia berpendapat bahwa kondisi sosial mereka seperti itu disebabkan oleh kolonialisme Belanda. Selama bertahun-tahun, Belanda telah menghancurkan berbagai aspek kehidupan sosial dan ekonomi orang-orang, serta membatasi pemahaman mereka tentang kemajuan dan perspektif mereka. Akibatnya, masyarakat, terutama golongan agama dan para ulama, menjadi kurang ajar dalam bidang pendidikan dan berpikir dengan cara yang kolot.
4. Rahmah el-Yunusiah
Tokoh pendidikan Islam Rahmah el-Yunusiah adalah orang pertama yang menyadari betapa pentingnya pendidikan bagi wanita dan menyadari peran dan tanggung jawab wanita dalam kehidupan global. Rahmah lahir di Padang Panjang pada tanggal 29 Desember 1900 dan meninggal pada tanggal 26 Februari 1969 di tempat yang sama. Selain menjadi pendiri Madrasah Diniyah Putri Padang Panjang, perguruan tinggi wanita Islam pertama di Indonesia, Rahmah juga berperan sebagai pendiri TKR di Sumatera Barat.